Home ChatGPT Mengapa AI Tidak ‘Tahu’, Tapi ‘Menebak’: Memahami Probabilitas dalam ChatGPT

Mengapa AI Tidak ‘Tahu’, Tapi ‘Menebak’: Memahami Probabilitas dalam ChatGPT

0

Pernah ngerasa heran gak kenapa ChatGPT bisa jawab hampir semua hal? Dari ngerjain soal, bikin caption, sampai nulis proposal, seolah dia “tahu segalanya.” Tapi sebenarnya, ChatGPT tidak tahu apa-apa. Yup, kamu nggak salah baca. ChatGPT tidak tahu dalam arti seperti manusia tahu sesuatu. Yang dia lakukan sebenarnya hanyalah menebak dengan sangat, sangat pintar.

Mari kita bedah pelan-pelan. Ketika kamu mengetik sebuah pertanyaan ke ChatGPT, model ini tidak benar-benar “mengingat” fakta dunia seperti yang kita lakukan. Ia tidak punya akses langsung ke Google, tidak membuka Wikipedia, dan tidak membaca dokumen baru di internet saat itu juga (kecuali di versi dengan browsing). Yang dia punya hanyalah hasil pelatihan dari miliaran potongan teks — buku, artikel, forum, percakapan — yang digunakan untuk mengajarinya pola bahasa manusia. Dari semua itu, AI belajar satu hal penting: setiap kata punya kemungkinan tertentu untuk muncul setelah kata sebelumnya.

Contohnya, kalau kamu menulis “hari ini cuacanya…”, maka berdasarkan pola dari semua teks yang pernah ia baca, ChatGPT tahu bahwa kata “cerah” punya kemungkinan muncul lebih besar daripada “spageti” atau “kulkas.” Jadi, ChatGPT tidak sedang mengingat cuaca hari ini — ia hanya menebak kata yang paling masuk akal berdasarkan konteks. Proses “menebak” inilah yang disebut probabilistic prediction.

Nah, sistem ini bekerja lewat jutaan kemungkinan setiap kali kamu menulis satu kalimat. Model menghitung probabilitas untuk setiap kata berikutnya — misalnya, kata A punya peluang 40%, kata B 20%, kata C 10%, dan seterusnya — lalu memilih salah satu berdasarkan parameter tertentu, seperti temperature (yang menentukan seberapa kreatif atau acak jawabannya). Itulah kenapa kadang jawaban ChatGPT bisa berbeda walaupun pertanyaannya sama. Semakin tinggi “temperature”, semakin bebas tebakannya. Semakin rendah, semakin kaku dan “aman.”

Jadi, bisa dibilang ChatGPT adalah mesin prediksi kata yang sangat canggih, bukan perpustakaan pengetahuan. Ia tidak berpikir, tidak merasa, dan tidak “percaya” pada jawabannya. Ia hanya mengikuti pola. Namun, keajaiban justru muncul dari pola itu. Karena data latihannya begitu besar dan beragam, hasil tebakannya sering kali terasa seperti pengetahuan sungguhan. Seolah-olah ia “mengerti”, padahal sebenarnya hanya memainkan probabilitas.

Untuk memahami ini, bayangkan kamu lagi main game “isi titik-titik” dalam kalimat. Misalnya: “Kucing itu sedang tidur di atas ….” Sebagian besar dari kita otomatis akan menjawab “kursi,” “sofa,” atau “bantal.” Kenapa? Karena dalam pengalaman bahasa kita, kombinasi kata “kucing” + “tidur” + “di atas” sering diikuti oleh benda-benda seperti itu. Nah, ChatGPT melakukan hal yang sama, tapi dalam skala super besar. Bedanya, ia tidak punya pengalaman pribadi, hanya pola dari teks.

Masalahnya, karena AI “menebak”, bukan “mengetahui”, terkadang tebakannya bisa salah total tapi terdengar meyakinkan. Fenomena ini dikenal sebagai AI hallucination. Misalnya, saat ditanya tentang teori ilmiah atau kutipan buku yang tidak pernah ada, ChatGPT bisa dengan percaya diri memberi jawaban seolah-olah benar. Itu bukan karena AI ingin menipu, tapi karena pola bahasanya memperkirakan begitu — kalimat yang “terdengar benar” punya probabilitas tinggi untuk muncul.

Di sinilah pentingnya kita memahami cara kerja probabilitas dalam AI. Supaya kita tidak terjebak menganggap ChatGPT sebagai sumber kebenaran absolut. Model ini luar biasa untuk eksplorasi ide, menulis, dan membantu berpikir, tapi ia tidak menggantikan pengetahuan manusia yang kritis. Manusia bisa membedakan antara fakta, opini, dan konteks emosional — sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh model prediktif murni seperti ini.

Sebaliknya, kita justru bisa belajar banyak dari cara AI berpikir probabilistik. Saat kita menghadapi masalah kompleks, sering kali kita terjebak mencari “jawaban pasti”, padahal dalam kenyataannya hidup penuh ketidakpastian. ChatGPT mengingatkan bahwa berpikir dalam probabilitas — menimbang kemungkinan dan menyesuaikan strategi — sering kali lebih realistis daripada berpikir hitam-putih.

Dan menariknya, prinsip ini juga bisa diterapkan di kehidupan nyata. Misalnya, ketika mengambil keputusan bisnis, merencanakan karier, atau menilai risiko — semua itu lebih mudah kalau kita melihatnya dari sisi kemungkinan, bukan kepastian. Jadi, ChatGPT bukan hanya alat bantu, tapi juga cermin cara berpikir baru: logis, fleksibel, dan berbasis data.

Akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan penting: ChatGPT tidak tahu, tapi ia belajar menebak dengan sangat baik. Dan mungkin, itu juga pelajaran untuk kita semua — bahwa kadang mengetahui segalanya tidak sepenting mau terus memperkirakan, menyesuaikan, dan belajar. Karena di dunia yang berubah secepat ini, kemampuan menebak dengan cerdas bisa jadi lebih berguna daripada kepastian yang kaku.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version