Bagi mahasiswa maupun dosen, bagian tinjauan pustaka sering jadi “momok” yang bikin pusing. Banyak yang bingung bagaimana caranya menulis ulang ide dari orang lain tanpa terjebak plagiarisme. Akhirnya, sebagian memilih cara instan: copy-paste. Padahal, justru di sinilah kemampuan menulis ilmiah diuji. Tinjauan pustaka itu bukan sekadar menumpuk kutipan, melainkan menunjukkan kalau kita sudah benar-benar membaca, memahami, dan bisa menyampaikan kembali gagasan orang lain dengan cara kita sendiri.
Pertama-tama, kita perlu memahami dulu apa itu tinjauan pustaka. Singkatnya, tinjauan pustaka adalah bagian dalam tulisan ilmiah yang berisi rangkuman, analisis, dan pembahasan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik kita. Jadi, bukan sekadar daftar panjang kutipan. Tinjauan pustaka yang baik menunjukkan posisi penelitian kita di tengah peta pengetahuan yang sudah ada. Kita bisa tahu, mana yang sudah diteliti, mana yang masih jadi celah, dan di mana penelitian kita memberi kontribusi.
Nah, supaya tidak terjebak plagiarisme, tips paling dasar adalah jangan sekadar menyalin kata demi kata. Parafrase itu kunci utama. Tapi parafrase bukan berarti hanya mengganti sinonim atau memutar susunan kalimat. Parafrase yang baik lahir dari pemahaman. Jadi, setelah membaca sebuah artikel, coba pahami inti idenya, lalu jelaskan dengan bahasa sendiri seolah-olah kamu lagi cerita ke teman. Dengan cara ini, kamu tidak hanya menghindari plagiarisme, tapi juga memastikan dirimu betul-betul paham dengan bacaan tersebut.
Tips berikutnya, jangan lupa selalu cantumkan sumber. Banyak mahasiswa merasa, “Kan sudah saya tulis ulang dengan bahasa sendiri, berarti nggak perlu kutipan lagi.” Nah, ini salah kaprah. Walaupun kalimatnya pakai gaya bahasamu, ide dasarnya tetap milik orang lain. Jadi, tetap wajib mencantumkan siapa penulisnya. Tanpa itu, tulisanmu bisa dianggap menjiplak. Dengan memberi kredit kepada penulis asli, tulisanmu justru jadi lebih kredibel.
Selain itu, penting juga untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber. Bayangkan kalau seluruh tinjauan pustakamu cuma mengulang isi satu artikel. Itu akan terasa membosankan dan tidak meyakinkan. Lebih baik gunakan beberapa sumber, lalu bandingkan. Misalnya, kamu menemukan penelitian A bilang media sosial menurunkan produktivitas, sementara penelitian B bilang sebaliknya. Kamu bisa membahas keduanya, lalu menjelaskan posisimu. Dengan cara ini, tinjauan pustaka bukan hanya aman dari plagiarisme, tapi juga terlihat lebih kaya dan kritis.
Gunakan juga teknik sintesis, bukan hanya ringkasan. Ringkasan biasanya hanya mengulang isi bacaan, sedangkan sintesis menghubungkan berbagai bacaan untuk melihat pola atau hubungan di antaranya. Misalnya, daripada menulis: “Penelitian A menemukan X. Penelitian B menemukan Y,” kamu bisa menulis, “Meskipun penelitian A menemukan X, penelitian B justru menunjukkan Y, sehingga ada perbedaan pandangan mengenai topik ini.” Dengan sintesis, tulisanmu lebih bernilai karena tidak sekadar menceritakan ulang, tapi juga menunjukkan analisismu.
Kalau merasa kesulitan mengatur banyak referensi, manfaatkan aplikasi manajemen referensi seperti Mendeley atau Zotero. Aplikasi ini bukan hanya membantu membuat daftar pustaka otomatis, tapi juga menjaga agar kutipanmu konsisten. Jadi, kamu bisa lebih fokus menulis daripada repot mengurus format.
Satu lagi yang penting: jangan menunda. Banyak kasus plagiarisme terjadi bukan karena niat, tapi karena panik di menit-menit terakhir. Karena buru-buru, akhirnya mahasiswa asal salin-tempel. Padahal, kalau dikerjakan dari awal dengan mencatat ide pokok setiap bacaan, proses menulis tinjauan pustaka jadi lebih ringan dan hasilnya lebih orisinal.
Singkatnya, menyajikan tinjauan pustaka tanpa plagiarisme memang butuh latihan, tapi bukan hal yang mustahil. Caranya: pahami ide, tulis ulang dengan bahasa sendiri, tetap cantumkan sumber, gunakan lebih dari satu referensi, lakukan sintesis, dan manfaatkan teknologi pendukung. Dengan begitu, tinjauan pustakamu tidak hanya aman dari plagiarisme, tapi juga menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan analitis yang sebenarnya menjadi tujuan utama dari penulisan ilmiah.