Pernah nggak, kamu baca artikel atau skripsi yang kalimatnya panjang banget sampai harus dibaca dua kali baru paham? Itu tanda penulisnya belum menguasai teknik menyederhanakan kalimat. Padahal, dalam menulis ilmiah, kalimat yang sederhana dan jelas justru lebih dihargai. Banyak mahasiswa atau peneliti pemula merasa tulisan mereka harus bertele-tele supaya terlihat “ilmiah.” Akibatnya, kalimat jadi kaku, berputar-putar, dan membingungkan. Padahal, tujuan menulis itu kan supaya pembaca mengerti, bukan supaya mereka bingung.
Menyederhanakan kalimat bukan berarti membuat tulisan jadi asal singkat. Tantangannya justru bagaimana menjaga makna tetap utuh meski kalimat dipangkas. Caranya sederhana: fokus pada inti pesan. Misalnya, kalimat “Dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mahasiswa di lingkungan universitas, maka dilakukan berbagai upaya yang bersifat inovatif” bisa disederhanakan menjadi, “Universitas melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.” Pesannya sama, tapi kalimat kedua lebih enak dibaca.
Langkah pertama dalam menyederhanakan kalimat adalah menghindari kata-kata mubazir. Banyak penulis suka menambahkan frasa panjang yang sebenarnya bisa diganti dengan kata lebih singkat. Contohnya, “pada saat ini” bisa diganti dengan “saat ini,” atau “dalam rangka” cukup jadi “untuk.” Kata-kata seperti “dapat dikatakan bahwa” atau “hal tersebut menunjukkan bahwa” sering bisa dihapus tanpa mengurangi arti.
Langkah kedua, hindari kalimat terlalu panjang. Dalam tulisan ilmiah, kalimat panjang memang wajar, tapi jangan sampai satu kalimat memuat lima ide sekaligus. Lebih baik pecah menjadi dua atau tiga kalimat yang lebih pendek. Misalnya, kalimat “Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh media sosial terhadap motivasi belajar mahasiswa dan bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran alternatif yang efektif di era digital” bisa dipecah jadi dua: “Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh media sosial terhadap motivasi belajar mahasiswa. Selain itu, penelitian juga melihat bagaimana media sosial berperan sebagai sarana pembelajaran alternatif di era digital.” Jauh lebih mudah dipahami, kan?
Langkah ketiga adalah gunakan struktur aktif daripada pasif jika memungkinkan. Kalimat aktif biasanya lebih pendek dan jelas. Contoh: “Data dianalisis menggunakan SPSS oleh penulis” bisa disederhanakan menjadi “Penulis menganalisis data dengan SPSS.” Selain lebih ringkas, kalimat aktif juga lebih hidup. Tentu saja, kalimat pasif tetap boleh dipakai, terutama di tulisan ilmiah. Tapi, jangan sampai semua kalimat jadi pasif karena itu membuat teks terasa kaku.
Langkah keempat, pilih kata yang tepat. Kadang penulis suka memakai kata rumit padahal ada kata sederhana dengan arti yang sama. Misalnya, “memanfaatkan” bisa diganti dengan “menggunakan,” atau “melaksanakan” bisa jadi “melakukan.” Kata sederhana bukan berarti tidak ilmiah, justru membuat pembaca lebih mudah menangkap maksudmu.
Selain itu, biasakan untuk membaca ulang kalimat yang sudah ditulis. Tanyakan pada diri sendiri: “Kalau saya baca sekali, apakah saya langsung paham?” Kalau jawabannya tidak, berarti kalimat itu masih perlu dipangkas atau dipecah. Membaca keras-keras juga membantu mendeteksi kalimat yang terlalu panjang atau berbelit.
Penting juga untuk ingat bahwa menyederhanakan kalimat bukan hanya soal gaya bahasa, tapi juga soal menghargai pembaca. Pembaca tulisan ilmiah biasanya ingin langsung paham isi penelitian, bukan tersesat di kalimat panjang yang berliku. Jadi, semakin sederhana tulisanmu, semakin besar peluang pesanmu tersampaikan dengan baik.
Singkatnya, teknik menyederhanakan kalimat tanpa kehilangan makna adalah soal membuang kata mubazir, memecah kalimat panjang, lebih sering pakai struktur aktif, memilih kata sederhana, dan rajin membaca ulang. Kalau teknik ini dibiasakan, tulisan ilmiahmu akan lebih ringan dibaca, lebih jelas, dan tetap terasa akademis. Ingat, menulis ilmiah itu bukan lomba bikin kalimat terpanjang, tapi bagaimana menyampaikan ide dengan sejelas-jelasnya.