Buat mahasiswa, dosen, atau peneliti, nama penulis di publikasi ilmiah itu lebih dari sekadar tanda tangan. Nama adalah identitas akademik yang melekat di setiap karya yang kita hasilkan. Tapi masalahnya, nama penulis sering kali muncul dengan variasi berbeda-beda. Ada yang pakai nama lengkap, ada yang pakai inisial, ada juga yang berbeda urutan karena sistem jurnal yang berbeda. Akibatnya, rekam jejak akademik jadi berantakan. Di sinilah pentingnya konsistensi identitas penulis lewat alat seperti ORCID dan Scopus ID.
Mari kita bahas dulu apa itu ORCID. ORCID (Open Researcher and Contributor ID) adalah semacam “nomor KTP” untuk peneliti. Bentuknya kode unik 16 digit yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi penulis di seluruh publikasi. Jadi, meskipun ada banyak orang dengan nama yang sama, ORCID bisa memastikan mana tulisan yang benar-benar milikmu. Praktis banget, apalagi kalau nama kita umum seperti “Budi Santoso” atau “Siti Aisyah.”
Lalu ada Scopus ID. Kalau ORCID lebih universal, Scopus ID khusus digunakan dalam database Scopus. Scopus ID otomatis diberikan ke penulis yang artikelnya sudah terindeks Scopus. Dengan ID ini, semua publikasi, sitasi, dan h-indeks penulis bisa dilacak secara konsisten. Jadi, siapa pun yang ingin melihat rekam jejak penelitianmu tinggal buka profil Scopus, tanpa bingung dengan variasi penulisan nama.
Kenapa konsistensi identitas penulis ini penting? Pertama, untuk membangun reputasi akademik. Publikasi ilmiah itu semacam portofolio. Kalau identitasmu tidak konsisten, publikasi yang seharusnya terhubung bisa tercecer di berbagai profil. Akhirnya, reputasi akademik terlihat lemah padahal sebenarnya karya sudah banyak. Dengan ORCID dan Scopus ID, semua karya terhubung rapi dalam satu profil resmi.
Kedua, konsistensi ini juga mempermudah dalam hal pengakuan karya. Bayangkan kamu sudah menulis artikel bagus, tapi karena nama ditulis berbeda (misalnya sekali pakai inisial, sekali tidak), sistem database tidak bisa menggabungkan. Akhirnya, jumlah sitasi dan indeksmu tidak terlihat maksimal. Padahal, dalam dunia akademik, angka-angka ini sering jadi tolok ukur produktivitas peneliti.
Ketiga, konsistensi identitas juga memudahkan saat mengajukan hibah atau beasiswa penelitian. Banyak lembaga pemberi dana sekarang meminta peneliti mencantumkan ORCID. Tujuannya jelas: mereka ingin memastikan proposal yang masuk benar-benar datang dari peneliti yang punya rekam jejak jelas. Dengan identitas yang konsisten, peluangmu diterima jadi lebih besar.
Keempat, ORCID juga bisa diintegrasikan dengan berbagai platform akademik lain, seperti sistem kampus, manajemen jurnal, bahkan profil Google Scholar. Jadi, kamu tidak perlu repot mengisi data berkali-kali. Sekali input di ORCID, banyak sistem bisa otomatis sinkron. Efisien dan rapi.
Selain ORCID dan Scopus ID, yang tidak kalah penting adalah membiasakan diri menulis nama dengan format yang sama di setiap publikasi. Misalnya, selalu gunakan nama lengkap atau selalu sertakan middle name kalau ada. Hindari berganti-ganti gaya, karena itu bisa menimbulkan kebingungan.
Intinya, konsistensi identitas penulis adalah investasi jangka panjang. Dengan ORCID dan Scopus ID, kamu sedang membangun “branding akademik” yang akan terus dipakai sepanjang kariermu. Sama seperti logo penting untuk sebuah perusahaan, identitas yang konsisten penting untuk peneliti.
Jadi, kalau kamu belum punya ORCID, segera daftar—gratis dan mudah. Kalau sudah punya Scopus ID, pastikan datanya benar dan terhubung dengan publikasimu. Dengan begitu, jejak akademikmu akan lebih kuat, lebih rapi, dan lebih mudah dikenali oleh komunitas ilmiah global.