Monday, December 22, 2025
Google search engine
HomePenulisan Buku AjarMenulis Buku Ajar yang Ramah Mahasiswa Generasi Z

Menulis Buku Ajar yang Ramah Mahasiswa Generasi Z

Kalau kamu dosen atau penulis buku ajar, pasti pernah merasa bahwa mahasiswa sekarang “beda banget” dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cepat tangkap, tapi cepat bosan. Mereka bisa multitasking luar biasa — sambil baca materi, bisa juga buka YouTube, scroll TikTok, atau cek notifikasi WA grup. Itulah generasi Z, kelompok mahasiswa yang lahir di era digital, tumbuh dengan teknologi, dan terbiasa dengan informasi yang serba cepat. Karena itu, menulis buku ajar untuk mereka tidak bisa lagi seperti menulis buku kuliah zaman dulu. Buku ajar zaman sekarang harus ramah Gen Z.

Pertanyaannya, seperti apa buku ajar yang “ramah Gen Z” itu? Jawabannya sederhana: buku yang berbicara dengan gaya mereka, mengikuti ritme berpikir mereka, dan mengajak mereka ikut terlibat. Gen Z tidak suka membaca teks panjang tanpa konteks. Mereka lebih suka visual, ilustrasi, dan contoh nyata yang bisa dikaitkan dengan kehidupan mereka. Jadi, kalau kita ingin menarik perhatian mereka, buku ajar perlu dirancang seperti teman ngobrol, bukan seperti dokumen akademik yang kaku.

Pertama, mari bicara tentang bahasa. Bahasa adalah pintu pertama yang menentukan apakah mahasiswa mau melanjutkan membaca atau langsung menyerah di halaman pertama. Buku ajar yang ramah Gen Z menggunakan bahasa yang komunikatif — bukan berarti tidak ilmiah, tapi lebih cair dan dekat dengan keseharian. Misalnya, alih-alih menulis “Mahasiswa diharapkan memahami implikasi epistemologis dari teori tersebut,” penulis bisa menulis, “Coba pikirkan, apa makna teori ini dalam kehidupan sehari-harimu?” Kalimat kedua tetap akademis, tapi terasa lebih manusiawi.

Kedua, visual adalah segalanya. Generasi Z adalah visual learners sejati. Mereka lebih cepat memahami informasi lewat gambar, infografis, dan diagram daripada paragraf yang panjang. Jadi, jangan ragu menambahkan ilustrasi, callout box berwarna, atau ikon sederhana untuk memperjelas konsep. Tapi ingat, jangan hanya cantik di desain — visual harus punya fungsi. Misalnya, gunakan diagram untuk menjelaskan hubungan konsep, bukan hanya sebagai dekorasi. Gen Z akan langsung tahu mana yang dibuat dengan tujuan dan mana yang hanya “tempelan estetik.”

Baca juga!  Mendesain E-Modul Berbasis Microlearning

Ketiga, penting sekali untuk membuat buku ajar yang interaktif. Buku ajar tidak harus selalu “satu arah.” Sekarang banyak cara agar mahasiswa bisa ikut terlibat, bahkan dari buku cetak sekalipun. Misalnya, tambahkan QR code yang bisa mereka scan untuk menonton video singkat, mengisi quiz online, atau mengakses simulasi digital. Ini membuat mereka merasa sedang “belajar sambil eksplorasi,” bukan sekadar membaca. Apalagi kalau bukunya versi digital, fitur interaktif seperti pop-up note, hyperlink, dan gamified task bisa membuat pengalaman belajar jadi jauh lebih seru.

Selanjutnya, Gen Z sangat menghargai relevansi. Mereka tidak tertarik pada teori tanpa kaitan dengan kehidupan nyata. Karena itu, setiap bab sebaiknya diawali dengan pertanyaan kontekstual, studi kasus aktual, atau kisah nyata yang dekat dengan mereka. Misalnya, dalam buku ajar manajemen, bisa dimulai dengan kisah seorang influencer yang membangun brand pribadinya, lalu dikaitkan dengan teori personal branding. Pendekatan seperti ini bukan hanya menarik, tapi juga membantu mereka memahami bahwa ilmu yang dipelajari di kampus benar-benar berguna di dunia nyata.

Jangan lupakan juga pentingnya memberi ruang refleksi pribadi. Meskipun Gen Z sering terlihat sibuk dengan layar, mereka tetap butuh waktu untuk berpikir. Buku ajar bisa menyediakan “ruang hening” dengan kolom kecil berisi pertanyaan seperti, “Bagian mana dari bab ini yang paling kamu rasakan relevan dengan hidupmu?” atau “Apa hal baru yang kamu sadari setelah membaca bagian ini?” Cara sederhana ini membantu mereka belajar bukan hanya untuk nilai, tapi juga untuk diri sendiri.

Selain isi, nada penulisan juga sangat menentukan. Buku ajar yang ramah Gen Z punya tone yang lebih bersahabat — tidak menggurui, tapi juga tidak kehilangan wibawa. Penulisnya terasa seperti mentor yang membimbing, bukan dosen yang memerintah. Coba bayangkan kamu sedang menulis untuk seseorang yang ingin tahu, tapi masih butuh dorongan. Maka gunakan gaya percakapan yang ringan, kalimat aktif, dan sesekali sentuhan humor akademik yang cerdas.

Baca juga!  Mendesain Buku Ajar untuk Mengintegrasikan Soft Skills dan Hard Skills

Terakhir, jangan takut untuk melibatkan mahasiswa dalam proses penulisan. Generasi Z senang jika suaranya didengar. Minta mereka memberi masukan tentang bab tertentu, atau bahkan bantu membuat contoh kasus dari pengalaman mereka sendiri. Ini bukan hanya membuat buku ajar lebih relevan, tetapi juga membangun rasa kepemilikan terhadap materi.

Pada akhirnya, menulis buku ajar untuk generasi Z bukan sekadar soal gaya, tapi soal empati. Kita perlu memahami bagaimana mereka belajar, berpikir, dan berinteraksi dengan dunia. Buku ajar yang ramah Gen Z adalah buku yang hidup — menggabungkan ilmu, pengalaman, dan teknologi dalam satu kesatuan yang menarik dan bermakna. Jadi, bukan hanya sekadar buku untuk dibaca, tapi buku yang mengajak mereka berpikir, bertanya, dan menemukan makna sendiri. Karena di era mereka, belajar bukan lagi tentang “menghafal,” tapi tentang “mengalami.”

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Iklan -
Google search engine

Most Popular

Komentar