Dunia pendidikan terus berubah, apalagi sejak teknologi digital semakin lekat dengan kehidupan sehari-hari. Mahasiswa sekarang lebih terbiasa membaca materi singkat di ponsel, menonton video pendek, atau belajar dari potongan konten yang langsung ke inti. Inilah salah satu alasan mengapa pendekatan microlearning mulai banyak digunakan, termasuk dalam penyusunan e-modul. Microlearning adalah metode pembelajaran yang menyajikan materi dalam bagian kecil, ringkas, dan fokus pada satu tujuan belajar tertentu. Alih-alih memaksa mahasiswa membaca ratusan halaman sekaligus, microlearning menawarkan potongan informasi yang bisa dipelajari dengan cepat namun tetap bermakna.
Kalau biasanya buku ajar atau modul kuliah tersusun tebal dengan bab panjang, e-modul berbasis microlearning justru dipotong menjadi unit-unit kecil. Setiap unit punya satu tujuan pembelajaran yang jelas, misalnya “mahasiswa memahami konsep dasar logika fuzzy” atau “mahasiswa bisa mengidentifikasi unsur dalam ikatan kimia sederhana”. Dengan begitu, mahasiswa tahu persis apa yang diharapkan setelah menyelesaikan satu bagian.
Desain seperti ini membuat mahasiswa merasa belajar lebih ringan. Mereka tidak terbebani harus menyelesaikan satu bab panjang, melainkan bisa menuntaskan satu bagian singkat dalam 10–15 menit. Dampaknya, motivasi belajar lebih terjaga karena keberhasilan kecil bisa dirasakan secara berulang. Mahasiswa merasa, “Oh, ternyata saya bisa menguasai satu topik ini dengan cepat.” Semangat kecil itu kemudian menumpuk menjadi capaian belajar yang lebih besar.
Mendesain e-modul berbasis microlearning bukan berarti sekadar memotong bab menjadi bagian kecil. Ada prinsip yang harus diperhatikan. Pertama, setiap unit harus fokus pada satu kompetensi. Misalnya, dalam mata kuliah bahasa Inggris, jangan sekaligus membahas grammar, vocabulary, dan writing dalam satu bagian. Lebih baik satu unit fokus pada penggunaan simple present tense saja. Dengan fokus semacam ini, mahasiswa tidak kewalahan.
Kedua, penyajian materi sebaiknya singkat dan padat. Gunakan kalimat sederhana, hindari paragraf yang terlalu panjang, dan sertakan contoh nyata. Jika bisa ditambahkan visual atau ilustrasi, hasilnya akan lebih menarik. Misalnya, e-modul tentang manajemen risiko bisa disertai infografis sederhana tentang langkah identifikasi risiko di sebuah UMKM lokal. Mahasiswa akan lebih mudah menangkap pesan karena melihat gambaran nyata, bukan sekadar teks.
Ketiga, microlearning sangat cocok dipadukan dengan aktivitas interaktif. Jangan biarkan e-modul hanya jadi bahan bacaan digital. Tambahkan kuis singkat, pertanyaan reflektif, atau latihan kecil di setiap unit. Misalnya, setelah membaca konsep dasar, mahasiswa langsung diberi satu soal pilihan ganda atau diminta menuliskan satu contoh penerapan. Aktivitas ini memperkuat pemahaman sekaligus membuat mahasiswa lebih terlibat.
Keempat, dalam mendesain e-modul berbasis microlearning, penting sekali memperhatikan durasi. Setiap unit sebaiknya bisa dipelajari dalam waktu singkat, maksimal 15 menit. Kalau lebih lama, esensi microlearning jadi hilang. Oleh karena itu, dosen atau penulis modul perlu pintar memilih materi inti. Tidak semua teori harus dimasukkan ke dalam e-modul; cukup poin penting yang benar-benar menunjang kompetensi. Detail tambahan bisa ditaruh dalam bacaan lanjutan atau tautan eksternal.
Salah satu keunggulan microlearning adalah fleksibilitas. Mahasiswa bisa belajar kapan saja, di mana saja, bahkan di sela-sela kesibukan. Bayangkan mahasiswa yang menunggu bus atau sedang istirahat di kantin, mereka tetap bisa membuka e-modul singkat lewat ponsel. Jadi, microlearning membantu menjadikan proses belajar lebih sesuai dengan gaya hidup generasi digital.
Tentu, ada tantangan juga. Salah satunya adalah memastikan kesinambungan antarunit. Jangan sampai microlearning membuat mahasiswa merasa materinya terpotong-potong tanpa alur yang jelas. Karena itu, meskipun setiap unit berdiri sendiri, penulis e-modul tetap harus merancang alur logis dari awal hingga akhir. Ibaratnya seperti puzzle: setiap potongan kecil harus nyambung sehingga membentuk gambar utuh.
Tantangan lain adalah menjaga kualitas isi. Karena unit microlearning singkat, ada risiko materi menjadi terlalu dangkal. Maka, penting bagi penulis modul untuk tetap menjaga kedalaman dengan cara menyajikan inti konsep secara jelas dan mengarahkan mahasiswa ke sumber belajar tambahan bila mereka ingin menggali lebih jauh. Dengan begitu, e-modul tetap padat, fokus, tapi tidak kehilangan substansi.
Pada akhirnya, e-modul berbasis microlearning menawarkan pendekatan belajar yang lebih relevan dengan generasi sekarang. Mahasiswa tidak hanya diberi tumpukan materi, tetapi diajak belajar dengan cara yang lebih natural bagi mereka: singkat, terfokus, dan praktis. Dosen pun lebih mudah memantau perkembangan karena setiap unit kecil bisa dievaluasi dengan cepat.
Jadi, jika Anda seorang dosen atau penulis yang sedang merancang e-modul, cobalah memikirkan microlearning. Pecah materi besar menjadi potongan kecil, sajikan dengan bahasa sederhana, lengkapi dengan aktivitas interaktif, dan pastikan setiap unit punya tujuan yang jelas. Dengan begitu, e-modul Anda bukan hanya mudah diakses, tetapi juga benar-benar membantu mahasiswa belajar secara efektif di era digital ini.