Selama bertahun-tahun, dunia pendidikan sering membedakan antara ilmu agama dan ilmu sains. Seolah-olah keduanya berjalan di jalur yang berbeda dan tidak bisa bertemu. Padahal, dalam pandangan Islam, ilmu adalah satu kesatuan yang berasal dari Allah. Tidak ada dikotomi antara ilmu dunia dan ilmu agama — keduanya saling melengkapi. Karena itu, gagasan integrasi Islam dan sains menjadi penting, terutama dalam penyusunan buku ajar di perguruan tinggi. Buku ajar tidak lagi hanya menyampaikan teori ilmiah, tetapi juga mengajak mahasiswa memahami nilai-nilai spiritual dan etika yang melandasinya.
Mendesain buku ajar dengan pendekatan integrasi Islam dan sains bukan berarti menambah ayat Al-Qur’an di setiap halaman secara simbolis. Intinya adalah bagaimana nilai-nilai keislaman dihadirkan sebagai ruh dalam setiap konsep, contoh, dan pembahasan ilmiah. Buku ajar yang integratif menuntun mahasiswa bukan hanya untuk tahu dan bisa, tetapi juga untuk sadar dan bijak dalam menggunakan ilmunya.
Langkah pertama adalah memahami filosofi dasar integrasi. Dalam Islam, ilmu dipandang sebagai sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Jadi, ketika menulis buku ajar, dosen perlu mengajak mahasiswa melihat bahwa fenomena ilmiah bukan sekadar proses alam yang kebetulan terjadi, tetapi bukti kebesaran Allah. Misalnya, dalam buku ajar biologi, pembahasan tentang sistem tubuh manusia bisa dihubungkan dengan ayat Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya memahami fungsi organ tubuh, tetapi juga menumbuhkan rasa kagum dan syukur atas ciptaan Tuhan.
Langkah kedua adalah menentukan titik temu antara konsep ilmiah dan nilai keislaman. Tidak semua topik bisa langsung dihubungkan dengan teks agama, tetapi penulis bisa mencari nilai universal seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, atau kesederhanaan. Misalnya, dalam mata kuliah ekonomi, pembahasan tentang manajemen keuangan bisa dikaitkan dengan prinsip amanah dan larangan riba. Dalam bidang teknologi, etika penggunaan data dan inovasi bisa dikaitkan dengan konsep maslahah (kemaslahatan) dan maqasid syariah (tujuan hukum Islam). Jadi, integrasi bukan hanya soal ayat dan hadis, tetapi juga nilai moral Islam dalam penerapan ilmu.
Langkah ketiga adalah menyusun struktur buku ajar yang menyeimbangkan aspek ilmiah dan spiritual. Buku bisa dimulai dengan pengantar yang menjelaskan pentingnya ilmu dalam Islam, kemudian dilanjutkan dengan bab-bab yang berisi teori ilmiah dan contoh aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap bab, penulis bisa menambahkan kolom refleksi berisi kutipan ayat, hadis, atau kisah inspiratif ilmuwan Muslim klasik seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, atau Al-Biruni. Hal ini akan memperkaya wawasan mahasiswa sekaligus menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan keilmuan Islam.
Langkah keempat, gunakan bahasa yang dialogis dan kontekstual. Banyak mahasiswa yang merasa nilai-nilai Islam disampaikan dengan cara yang terlalu formal atau menggurui. Padahal, dengan gaya bahasa yang sederhana dan akrab, nilai itu bisa terasa lebih dekat. Misalnya, alih-alih menulis, “Ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat,” penulis bisa menulis, “Kalau kita punya pengetahuan, tugas kita adalah memastikan ilmu itu membawa manfaat, bukan justru menimbulkan kerusakan.” Pesan yang sama, tetapi terasa lebih membumi.
Langkah kelima, berikan ruang refleksi dan aksi nyata. Buku ajar integratif sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat pemahaman, tetapi juga mendorong perubahan sikap. Misalnya, setelah mempelajari topik tentang lingkungan, mahasiswa diminta melakukan observasi tentang perilaku masyarakat terhadap sampah di sekitarnya, lalu merefleksikan bagaimana Islam mengajarkan tanggung jawab terhadap bumi. Aktivitas semacam ini menjadikan pembelajaran lebih hidup dan bermakna.
Selain itu, penulis perlu menampilkan sains sebagai jalan spiritual, bukan lawan agama. Dalam sejarah Islam, banyak ilmuwan besar yang membuktikan hal ini. Ibnu Sina meneliti anatomi bukan karena ingin menantang agama, tapi karena ingin memahami ciptaan Allah secara lebih mendalam. Al-Khawarizmi mengembangkan matematika bukan demi kekuasaan, tapi agar umat manusia bisa hidup lebih tertib dan efisien. Mengingatkan mahasiswa akan hal-hal seperti ini membuat mereka memahami bahwa menjadi ilmuwan pun bisa menjadi bentuk ibadah.
Tentu, tantangan dalam menulis buku ajar integratif tidak kecil. Dosen perlu hati-hati agar tidak terjebak pada penjelasan dogmatis yang tidak relevan dengan konteks ilmiah. Kuncinya adalah keseimbangan — ilmu disampaikan dengan data dan logika, sementara nilai Islam hadir sebagai landasan etika dan makna.
Pada akhirnya, buku ajar berbasis integrasi Islam dan sains bukan hanya sumber belajar, tetapi juga media pembentukan karakter. Mahasiswa tidak hanya menjadi cerdas secara akademik, tetapi juga bijak dalam berpikir dan bertindak. Dengan pendekatan ini, pendidikan tinggi bisa kembali pada hakikatnya: membentuk insan yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi masyarakat.