More

    Bebaskan Diri dari Perfeksionisme

    Sebagai seorang penulis dengan pengalaman puluhan tahun, saya sering sekali bertemu dengan calon penulis muda yang punya bakat luar biasa, ide-ide brilian, tapi sayangnya, tak pernah berhasil menyelesaikan satu pun karya mereka. Kenapa? Bukan karena malas, bukan karena tak punya waktu, tapi karena mereka terjebak dalam sangkar emas bernama perfeksionisme. Ironisnya, keinginan untuk membuat karya yang sempurna justru seringkali jadi penghalang terbesar untuk menulis.

    Saya ingat betul di awal karir saya dulu, di era 90-an. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk satu paragraf. Mengubah setiap kata, mengganti tanda baca, membolak-balik kalimat, hanya karena merasa belum “pas.” Alhasil, di penghujung hari, saya cuma punya satu paragraf yang sudah direvisi berkali-kali, tapi ceritanya sendiri belum beranjak ke mana-mana. Ini seperti kamu ingin membangun rumah megah, tapi sibuk memoles satu batu bata sampai kinclong tanpa pernah menumpuknya untuk membentuk dinding. Melelahkan, dan tidak produktif.

    Jadi, bagaimana caranya kita bisa melepaskan diri dari jeratan perfeksionisme ini? Ada beberapa kunci yang saya pelajari selama bertahun-tahun, dan ini penting sekali untuk Anda para penulis pemula.

    Pertama, pahami fase penulisan. Menulis itu punya dua fase utama yang harus dipisahkan: fase draf pertama (dumping) dan fase revisi (polishing). Saat menulis draf pertama, tujuan utamamu cuma satu: tuang semua ide dari kepala ke atas kertas. Jangan pedulikan tata bahasa, ejaan, pilihan kata yang indah, atau bahkan alur yang sempurna. Anggap saja ini seperti kamu sedang “membuang” semua isi pikiranmu.

    Di fase ini, kejar kuantitas, bukan kualitas. Tulis secepat mungkin, biarkan ide mengalir tanpa henti. Kalau ada kalimat yang terasa janggal, biarkan saja. Ada typo? Abaikan dulu. Alur cerita tiba-tiba belok? Catat, tapi teruslah maju. Momen ini bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang menyelesaikan. Kalau kamu terus-terusan mengedit saat menulis draf pertama, percayalah, naskahmu tidak akan pernah selesai. Ini seperti kamu mencoba menata barang di gudang yang masih terus diisi. Berantakan terus!

    Baca juga!  Pentingnya Proofreading dalam Setiap Tulisan

    Kedua, terima bahwa draf pertama itu memang akan jelek. Ini mungkin terdengar kasar, tapi ini kenyataan pahit yang harus kita telan. Tidak ada draf pertama novel best-seller yang langsung sempurna. Tidak ada! Penulis-penulis hebat pun punya draf pertama yang berantakan, penuh coretan, dan mungkin bahkan tidak bisa dimengerti orang lain. Anggap saja draf pertama itu seperti adonan kue. Bentuknya belum cantik, rasanya juga masih mentah. Tapi dari adonan itulah, dengan proses yang tepat, akan lahir kue yang lezat.

    Ketika kamu membebaskan dirimu dari ekspektasi untuk menulis draf pertama yang sempurna, beban di pundakmu akan terangkat. Kamu jadi lebih berani menulis, lebih bebas mengeksplorasi ide, dan akhirnya, lebih produktif. Ini adalah mindset yang sangat penting untuk dikembangkan.

    Ketiga, tetapkan target yang realistis. Daripada menetapkan target “menulis paragraf sempurna,” lebih baik tetapkan target “menulis 500 kata” atau “menyelesaikan satu bab.” Dengan target kuantitatif, kamu akan terdorong untuk terus menulis ke depan, bukan terjebak di satu titik. Bahkan kalau hari itu kamu cuma bisa menulis 100 kata, itu lebih baik daripada nol kata karena kamu sibuk mengedit satu kalimat selama berjam-jam. Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit, bukan?

    Keempat, ingat: proses revisi itu ada untuk apa? Setelah kamu berhasil menyelesaikan draf pertama, barulah saatnya masuk ke fase revisi. Di sinilah kamu bisa jadi “editor kejam” untuk karyamu sendiri. Perbaiki tata bahasa, sempurnakan alur, poles pilihan kata, kembangkan karakter. Semua “cacat” yang kamu abaikan di draf pertama, kini saatnya diperbaiki. Inilah waktu untuk memoles berlian mentah menjadi permata yang berkilau. Tanpa ada berlian mentah untuk dipoles, tidak akan ada permata.

    Baca juga!  Menemukan Gaya Penulisan Pribadi: Panduan Lengkap untuk Penulis Pemula

    Terakhir, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Menulis itu perjalanan, bukan perlombaan. Setiap penulis punya kecepatan dan prosesnya masing-masing. Ada hari-hari di mana menulis terasa sangat mudah, dan ada juga hari-hari di mana setiap kata terasa berat. Itu wajar. Jangan biarkan suara kritis di dalam kepalamu membuatmu berhenti. Beri dirimu ruang untuk membuat kesalahan, untuk belajar, dan untuk terus bertumbuh.

    Mulai sekarang, bernapaslah. Tarik napas dalam-dalam. Lepaskan belenggu perfeksionisme yang selama ini mungkin menghambatmu. Biarkan draf pertamamu mengalir apa adanya. Percayalah, sebuah karya yang “tidak sempurna” tapi selesai, jauh lebih berharga daripada ide “sempurna” yang selamanya hanya ada di kepala atau di angan-angan. Selamat menulis dengan bebas!

    Artikel Terkini

    spot_img

    Artikel Terkait

    Leave a reply

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    spot_img