Kalau kamu pernah mengirim artikel ke jurnal atau sekadar baca skripsi teman, pasti sadar bahwa bagian abstrak selalu muncul paling depan. Abstrak ini ibarat “etalase” dari sebuah tulisan ilmiah. Dari abstrak, pembaca bisa memutuskan apakah mereka mau lanjut membaca keseluruhan artikel atau tidak. Masalahnya, banyak mahasiswa dan peneliti justru kesulitan menulis abstrak. Ada yang terlalu panjang, ada juga yang terlalu pendek sampai tidak jelas apa yang diteliti. Padahal, abstrak yang baik harus padat, jelas, dan informatif.
Pertama-tama, mari kita pahami dulu apa fungsi abstrak. Abstrak bukan sekadar ringkasan asal-asalan. Ia adalah pintu masuk yang memberi gambaran singkat tentang isi penelitian. Idealnya, dalam beberapa paragraf singkat, abstrak harus menjawab pertanyaan: apa yang diteliti, bagaimana cara menelitinya, apa hasilnya, dan apa kesimpulan utamanya. Jadi, meskipun singkat, abstrak harus mencakup keseluruhan perjalanan penelitian, tapi hanya garis besarnya saja.
Masalah umum yang sering muncul adalah abstrak yang hanya berisi latar belakang tanpa menyebut hasil penelitian. Misalnya, abstrak hanya bicara panjang lebar soal pentingnya media sosial bagi mahasiswa, tapi lupa menyampaikan apa temuan penelitiannya. Sebaliknya, ada juga yang langsung menuliskan data mentah tanpa konteks, sehingga pembaca kebingungan. Kuncinya adalah keseimbangan: ada sedikit latar belakang untuk memberi konteks, ada metodologi singkat, ada hasil utama, dan ada kesimpulan.
Lalu, bagaimana cara membuat abstrak yang padat tapi tetap informatif? Pertama, jangan lupa menyebut tujuan penelitian. Kalimat pertama biasanya menjawab “penelitian ini bertujuan untuk…”. Tujuan yang jelas akan membantu pembaca langsung tahu arah penelitianmu. Kedua, sebutkan metode secara singkat. Tidak perlu detail panjang seperti di bab metodologi, cukup sebutkan pendekatan apa yang dipakai, berapa responden, atau instrumen utama yang digunakan.
Ketiga, tuliskan hasil utama penelitianmu. Bagian ini paling penting, karena pembaca biasanya mencari tahu “apa sih yang ditemukan?” Jangan hanya bilang “penelitian ini menemukan adanya hubungan antara X dan Y.” Lebih baik langsung spesifik, misalnya “penelitian ini menemukan bahwa 70% mahasiswa lebih produktif belajar di malam hari dibandingkan siang hari.” Dengan begitu, pembaca langsung dapat gambaran hasilnya.
Keempat, tambahkan kesimpulan atau implikasi. Misalnya, dari hasil penelitian tadi, kamu bisa menulis, “Hal ini menunjukkan perlunya penyesuaian strategi belajar sesuai preferensi waktu mahasiswa.” Kalimat singkat ini akan menegaskan kontribusi penelitianmu.
Selain isinya, abstrak juga harus ringkas. Biasanya, jurnal atau kampus memberi batasan 150–250 kata. Jangan lebih, jangan kurang. Kalau terlalu panjang, kesannya bertele-tele. Kalau terlalu pendek, pembaca tidak dapat cukup informasi. Jadi, latih diri menulis dengan efisien: langsung ke inti, hindari kalimat mubazir, dan gunakan bahasa yang sederhana tapi akademis.
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah menyelipkan kutipan dalam abstrak. Ingat, abstrak bukan tempat untuk referensi. Abstrak harus berdiri sendiri, bisa dipahami tanpa harus membaca daftar pustaka. Karena itu, jangan repot-repot menambahkan “menurut si A (2020)” dalam abstrakmu. Fokus saja pada apa yang kamu teliti.
Kalau masih bingung, coba baca abstrak dari artikel-artikel di jurnal bereputasi. Perhatikan bagaimana mereka menyusun informasi: dari latar belakang singkat, tujuan, metode, hasil, lalu kesimpulan. Dengan membaca banyak contoh, lama-lama kamu akan terbiasa melihat pola dan bisa menirunya dengan gaya tulisanmu sendiri.
Singkatnya, abstrak yang padat dan informatif harus mencakup empat hal: tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Ditulis singkat, jelas, dan tanpa basa-basi. Ingat, abstrak adalah pintu pertama yang dibaca orang, jadi pastikan pintu itu cukup menarik untuk membuat orang ingin masuk lebih jauh ke dalam tulisanmu.