Buat banyak penulis, salah satu momen paling mendebarkan dalam publikasi ilmiah adalah saat menerima komentar dari reviewer. Deg-degan, takut hasil kerja keras berbulan-bulan langsung ditolak, atau kaget karena banyak sekali catatan yang muncul. Tapi tenang, komentar reviewer itu bukan musibah, justru kesempatan untuk membuat tulisan kita jadi lebih baik. Yang penting, kita tahu cara menyikapinya dengan bijak.
Pertama-tama, mari luruskan dulu mindset. Reviewer bukan musuh. Mereka adalah rekan sejawat yang punya pengalaman di bidang yang sama. Tugas mereka memberi masukan agar artikel yang masuk ke jurnal benar-benar berkualitas dan sesuai standar akademik. Jadi, kalau komentar terasa keras atau banyak, jangan langsung diartikan sebagai penolakan pribadi. Anggap saja itu bentuk perhatian agar penelitianmu bisa tampil lebih rapi.
Langkah pertama dalam menghadapi komentar reviewer adalah jangan panik. Baca komentar dengan tenang, jangan langsung buru-buru membalas atau merasa tersinggung. Kadang kita perlu waktu sehari atau dua hari untuk mencerna semua catatan. Setelah itu, baru bisa menyusun strategi bagaimana menjawab satu per satu.
Langkah kedua, baca komentar dengan teliti dan pisahkan berdasarkan kategori. Misalnya, ada komentar soal isi (data kurang lengkap, analisis perlu diperkuat), soal bahasa (kalimat terlalu panjang), atau soal teknis (format sitasi, tabel kurang jelas). Dengan memisahkan komentar, kita jadi lebih mudah menentukan prioritas perbaikan.
Langkah ketiga, jawab semua komentar dengan sopan dan sistematis. Biasanya jurnal meminta kita mengirim “response to reviewer.” Nah, di sini penting untuk menunjukkan sikap profesional. Kalau komentar reviewer benar, akui dan perbaiki. Misalnya, reviewer bilang literatur yang digunakan terlalu lama, kita bisa menambahkan referensi terbaru dan menulis, “Terima kasih atas sarannya, kami sudah menambahkan literatur dari tahun 2020–2022.”
Bagaimana kalau kita tidak setuju dengan komentar reviewer? Itu juga mungkin terjadi. Jangan langsung membantah keras, tapi jelaskan dengan argumen yang logis dan tetap sopan. Misalnya, reviewer meminta menambahkan teori tertentu, tapi setelah kita cek, teori itu tidak relevan dengan konteks penelitian. Kita bisa menjawab, “Kami menghargai saran reviewer, namun setelah dipertimbangkan, teori X kurang sesuai dengan fokus penelitian ini. Oleh karena itu, kami tetap menggunakan teori Y yang lebih relevan.” Dengan begitu, reviewer tahu bahwa kita sudah mempertimbangkan masukan mereka, bukan sekadar menolak mentah-mentah.
Langkah keempat, kerjakan revisi dengan sungguh-sungguh. Reviewer bisa melihat apakah perbaikan yang kita lakukan asal-asalan atau benar-benar serius. Kalau revisinya detail, besar kemungkinan artikel akan diterima. Sebaliknya, kalau revisi seadanya, reviewer bisa kecewa dan bahkan merekomendasikan penolakan.
Selain itu, jangan lupa untuk menjaga nada komunikasi tetap positif. Reviewer juga manusia, mereka akan lebih respek kalau penulis menunjukkan sikap kooperatif. Ucapkan terima kasih di awal dan akhir respons. Hal sederhana ini bisa menciptakan kesan bahwa kita penulis yang profesional dan terbuka terhadap kritik.
Pada akhirnya, menghadapi reviewer comments dengan bijak bukan hanya soal memperbaiki artikel, tapi juga melatih mental sebagai peneliti. Kita belajar untuk sabar, rendah hati, dan mau mendengar masukan. Ingat, publikasi ilmiah adalah proses kolaboratif. Penulis, reviewer, dan editor bekerja bersama untuk menghasilkan karya yang berkualitas.
Singkatnya, jangan takut dengan komentar reviewer. Baca dengan tenang, pilah komentar, jawab dengan sopan, revisi dengan serius, dan komunikasikan dengan nada positif. Kalau semua langkah ini dijalankan, komentar reviewer bukan lagi momok, melainkan peluang emas untuk membuat tulisanmu semakin kuat.