Kalau kamu pernah membaca buku ajar yang benar-benar “ngena,” biasanya ada bagian yang bikin kamu berhenti sejenak dan berpikir. Itu bukan sekadar penjelasan teori atau contoh soal, tapi pertanyaan reflektif yang mengajak kita merenung. Pertanyaan reflektif bukan ditujukan untuk menguji hafalan, melainkan untuk mendorong pemahaman lebih dalam. Dengan adanya pertanyaan seperti ini, mahasiswa tidak hanya jadi pembaca pasif, tapi juga terlibat aktif dalam proses belajar.
Pertanyaan reflektif pada dasarnya adalah undangan untuk berpikir kritis. Misalnya, setelah bab tentang etika penelitian, penulis bisa menyelipkan pertanyaan: “Pernahkah kamu berada dalam situasi di mana harus memilih antara hasil cepat atau cara yang benar? Bagaimana kamu menyikapinya?” Pertanyaan seperti ini membuat mahasiswa tidak sekadar memahami teori etika, tapi juga mencoba menghubungkannya dengan pengalaman pribadi. Di sinilah nilai tambah buku ajar—ia bukan hanya transfer informasi, tapi juga alat untuk menumbuhkan kesadaran.
Lalu, bagaimana cara membuat pertanyaan reflektif yang efektif? Pertama, pastikan pertanyaannya relevan dengan materi. Jangan asal memberi pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan topik. Kalau bab membahas komunikasi antarbudaya, pertanyaan reflektifnya bisa berupa, “Pernahkah kamu merasa salah paham ketika berinteraksi dengan orang dari latar budaya berbeda? Apa yang bisa kamu pelajari dari pengalaman itu?” Pertanyaan semacam ini membantu mahasiswa melihat hubungan langsung antara teori dan kehidupan nyata.
Kedua, gunakan bahasa yang sederhana dan akrab. Pertanyaan reflektif bukan soal ujian yang menuntut jawaban kaku. Justru, bahasa yang ringan akan lebih mengundang mahasiswa untuk menjawab dengan jujur. Misalnya, daripada menulis, “Jelaskan implikasi konseptual dari paradigma konstruktivis,” lebih baik menulis, “Kalau kamu jadi guru, bagaimana kamu menerapkan teori konstruktivis di kelasmu?” Gaya bahasa yang ramah membuat mahasiswa merasa lebih dekat dengan materi.
Ketiga, buat pertanyaan terbuka. Pertanyaan reflektif sebaiknya tidak bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak.” Pertanyaan terbuka memancing mahasiswa untuk berpikir lebih luas dan menyusun jawaban yang lebih mendalam. Misalnya, “Apa pendapatmu tentang…” atau “Bagaimana kamu akan…” jauh lebih efektif daripada “Apakah kamu setuju…”
Keempat, dorong pembaca untuk menghubungkan teori dengan pengalaman pribadi. Pertanyaan reflektif akan lebih kuat kalau bisa membuat mahasiswa menengok ke dalam diri mereka sendiri. Misalnya, setelah membahas manajemen waktu, pertanyaannya bisa berupa, “Coba pikirkan aktivitas sehari-hari kamu. Bagian mana yang menurutmu bisa lebih efisien kalau kamu menerapkan strategi manajemen waktu yang sudah dibahas?” Pertanyaan ini membuat teori terasa relevan dan langsung bisa dipraktikkan.
Kelima, gunakan variasi bentuk pertanyaan. Jangan selalu pakai format yang sama. Kadang bisa berupa pertanyaan langsung, kadang berupa studi kasus kecil, atau bisa juga berbentuk skenario “bagaimana jika.” Variasi ini membuat mahasiswa tidak bosan dan tetap tertarik untuk menjawab.
Selain itu, pertanyaan reflektif juga bisa berfungsi sebagai bahan diskusi di kelas. Dosen bisa meminta mahasiswa menjawab di buku ajar, lalu mendiskusikannya bersama. Dengan begitu, pertanyaan reflektif tidak hanya mendorong pemahaman individu, tapi juga melatih keterampilan komunikasi dan kerja sama.
Intinya, pertanyaan reflektif dalam buku ajar bukanlah pelengkap semata, tapi bagian penting untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna. Pertanyaan ini membantu mahasiswa menghubungkan teori dengan realitas, mengasah kemampuan berpikir kritis, dan menjadikan proses belajar lebih personal.
Jadi, kalau kamu sedang menulis buku ajar, jangan lupa sisipkan pertanyaan reflektif di setiap bab. Tidak perlu banyak, cukup satu atau dua pertanyaan yang tepat sasaran. Percayalah, pertanyaan sederhana yang mengajak merenung bisa jauh lebih berkesan daripada satu halaman penuh teori.