Monday, December 22, 2025
Google search engine
HomePenulisan Buku AjarBagaimana Membedakan Bahasa Buku Anak dan Buku Dewasa

Bagaimana Membedakan Bahasa Buku Anak dan Buku Dewasa

Kalau kita perhatikan, ada hal menarik yang sering luput saat seseorang mulai menulis buku anak. Banyak penulis yang sebenarnya punya ide bagus, tapi bahasanya masih terasa “dewasa” — terlalu berat, penuh istilah abstrak, atau kalimatnya panjang-panjang seperti karangan kuliah. Padahal, menulis untuk anak itu bukan tentang menyederhanakan isi semata, tapi tentang menyampaikan sesuatu dengan cara yang bisa dirasakan, dibayangkan, dan dinikmati oleh anak. Di sinilah letak seni sekaligus tantangan terbesar: bagaimana membedakan bahasa buku anak dari bahasa buku dewasa.

Perbedaan pertama bisa langsung terlihat dari tujuan komunikasi. Buku anak ditulis untuk membantu anak memahami dunia, sementara buku dewasa ditulis untuk membantu pembaca merenungkan dunia. Anak-anak sedang belajar mengenal konsep, sedangkan orang dewasa sudah punya konsep dan ingin memperdalamnya. Jadi, bahasa dalam buku anak harus membuka pintu imajinasi, sementara bahasa buku dewasa lebih sering mengundang refleksi. Misalnya, kalau di buku anak kita menulis “Matahari tersenyum di langit biru,” anak akan langsung membayangkan langit yang cerah dan hangat. Tapi di buku dewasa, kalimat yang sama mungkin berubah jadi “Mentari pagi menembus tirai jendela, membangunkan rasa rindu yang belum selesai.” Dua-duanya indah, tapi punya “rasa” yang berbeda — satu ringan dan menggembirakan, satu lagi penuh makna dan perasaan.

Selain tujuan, struktur kalimat juga membedakan keduanya. Dalam buku anak, kalimat sebaiknya pendek, ritmis, dan mudah diikuti. Anak-anak masih belajar mengenali pola bahasa, jadi mereka lebih mudah memahami kalimat yang sederhana tapi bermakna. Contohnya, “Budi memeluk kucingnya. Kucingnya menguap lalu tidur.” Dua kalimat pendek, tapi jelas dan terasa akrab. Sementara dalam buku dewasa, penulis bisa bermain dengan struktur yang lebih kompleks, seperti kalimat majemuk, anak kalimat, atau gaya deskriptif panjang. Buku dewasa boleh berisi satu paragraf penuh metafora, tapi kalau itu dilakukan di buku anak, pembaca kecil mungkin sudah kehilangan arah di tengah jalan.

Baca juga!  Menggunakan Ilustrasi dan Grafik untuk Memperkuat Penjelasan

Pilihan kata adalah kunci berikutnya. Dalam buku anak, kata-kata yang dipilih sebaiknya konkret — mudah divisualisasikan dan berhubungan dengan pengalaman sehari-hari. Anak-anak berpikir dengan gambar dan pengalaman langsung, bukan dengan ide abstrak. Kata seperti “bola,” “rumput,” “teman,” atau “hujan” akan jauh lebih bermakna daripada “motivasi,” “kebebasan,” atau “eksistensi.” Sebaliknya, buku dewasa bisa menggunakan konsep abstrak karena pembacanya sudah bisa menghubungkan kata dengan ide di kepala. Jadi, kalau dalam buku dewasa penulis menulis “ia merasa kehilangan arah dalam hidup,” di buku anak mungkin lebih cocok diubah menjadi “ia tersesat di taman yang luas dan tak tahu jalan pulang.” Maknanya mirip, tapi cara penyampaiannya jauh lebih bisa dicerna oleh anak.

Hal lain yang penting adalah nada dan gaya berbicara. Buku anak biasanya punya nada yang hangat, penuh rasa ingin tahu, dan kadang lucu atau jenaka. Bahasa yang digunakan tidak menggurui, tapi mengajak anak untuk ikut berpikir. Misalnya, alih-alih menulis “Kamu harus rajin belajar agar sukses,” penulis bisa menulis “Setiap kali Lala membaca buku, otaknya seperti menari gembira!” Gaya seperti ini membuat pesan tersampaikan tanpa membuat anak merasa digurui. Buku dewasa, sebaliknya, sering menggunakan nada reflektif, formal, atau bahkan kritis. Bahasa dalam buku dewasa bisa lebih serius dan padat makna, karena pembacanya siap diajak berpikir panjang.

Selain gaya, ritme bahasa juga memegang peran besar. Buku anak sebaiknya punya ritme yang enak dibaca keras-keras. Banyak buku anak dibacakan oleh orang tua atau guru, jadi pemilihan kata dan susunan kalimatnya harus mengalir. Inilah kenapa banyak buku anak punya unsur repetisi atau irama, seperti “Lari-lari kecil si kucing putih, mengejar bola yang jatuh ke sungai.” Sementara buku dewasa tidak terlalu memerlukan pola repetitif seperti itu, karena pembacanya lebih fokus pada makna daripada bunyi.

Baca juga!  Tips Menyusun Curriculum Vitae Akademik

Perbedaan berikutnya terletak pada emosi yang dihadirkan. Buku anak lebih menekankan perasaan yang sederhana — bahagia, takut, sedih, marah, bangga — dengan situasi yang mudah dipahami. Anak-anak belum siap dengan konflik emosional yang terlalu rumit. Buku dewasa, di sisi lain, justru mengeksplorasi kompleksitas perasaan: ambiguitas, dilema moral, kerinduan, atau kehilangan. Buku anak akan berkata, “Rina sedih karena bonekanya rusak.” Buku dewasa bisa berkata, “Ia memandangi boneka tua itu dan teringat pada masa kecil yang tak akan kembali.” Lagi-lagi, kedalaman dan cara penyampaiannya yang membedakan.

Namun, meskipun berbeda, menulis untuk anak dan menulis untuk dewasa punya satu kesamaan penting: keduanya sama-sama membutuhkan empati. Penulis yang baik harus tahu siapa pembacanya, bagaimana mereka berpikir, dan apa yang mereka rasakan. Untuk anak, empati itu berarti menulis dengan kacamata polos dan ingin tahu. Untuk dewasa, empati berarti menulis dengan kacamata reflektif dan sadar makna.

Jadi, ketika kamu ingin menulis buku anak, jangan hanya berpikir “bagaimana supaya anak paham,” tapi juga “bagaimana supaya anak merasa.” Sementara kalau menulis buku dewasa, pikirkan “bagaimana supaya pembaca berpikir.” Dua-duanya indah, dua-duanya sulit, dan dua-duanya bisa menginspirasi — asal bahasanya berbicara dengan cara yang tepat pada hati dan usia pembacanya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Iklan -
Google search engine

Most Popular

Komentar