Perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam beberapa tahun terakhir benar-benar mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Kalau dulu penulisan buku ajar sering dianggap pekerjaan yang memakan waktu lama, penuh revisi, dan terkadang membosankan, kini hadirnya AI bisa membuat proses tersebut jauh lebih praktis. AI bukan dimaksudkan untuk menggantikan peran dosen atau penulis, tetapi lebih sebagai “asisten cerdas” yang membantu mempercepat pekerjaan dan memperkaya isi buku ajar.
Bayangkan ketika seorang dosen ingin menulis buku ajar. Biasanya ia harus mengumpulkan referensi, menyusun kerangka isi, menulis draf awal, memeriksa tata bahasa, lalu menyunting berkali-kali sebelum siap dipublikasikan. Proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan. Dengan bantuan AI, banyak tahapan bisa dipercepat. Misalnya, AI dapat membantu menyusun kerangka bab berdasarkan capaian pembelajaran mata kuliah, mencari literatur terbaru yang relevan, atau bahkan menghasilkan contoh soal sesuai topik. Dosen tetap menjadi pengendali, tetapi ia tidak perlu lagi memulai semuanya dari nol.
Integrasi AI dalam penyusunan buku ajar bisa dilakukan di beberapa tahap. Pertama, tahap perencanaan. AI dapat digunakan untuk memetakan kompetensi yang ingin dicapai mahasiswa sesuai prinsip Outcome-Based Education (OBE). Dosen tinggal memasukkan daftar CPL (Capaian Pembelajaran Lulusan) atau CPMK (Capaian Pembelajaran Mata Kuliah), lalu AI bisa membantu menyarankan struktur isi buku yang sejalan dengan kompetensi tersebut. Hal ini tentu menghemat waktu dan membuat dosen lebih fokus pada isi substansi.
Kedua, tahap penulisan. Banyak aplikasi AI yang bisa membantu menghasilkan draf penjelasan singkat, definisi, atau ringkasan literatur. Misalnya, ketika penulis membutuhkan penjelasan awal tentang konsep “analisis regresi”, AI dapat memberi uraian sederhana sebagai bahan awal. Tentu, dosen tetap harus menyunting, menambahkan referensi, dan menyesuaikan dengan gaya bahasa akademik yang diinginkan. Jadi, AI lebih berfungsi sebagai “penggerak awal” untuk menghindari kebuntuan menulis.
Ketiga, tahap pengayaan konten. AI bisa dipakai untuk membuat ilustrasi, grafik, tabel, bahkan infografis. Jika selama ini buku ajar terasa kaku karena hanya berisi teks, AI dapat menghadirkan visualisasi data atau gambar penjelas yang lebih menarik. Misalnya, ketika menjelaskan alur metabolisme dalam biologi, AI bisa membantu menghasilkan diagram sederhana yang mudah dipahami mahasiswa. Visual semacam ini memperkuat daya serap materi dan membuat buku ajar lebih interaktif.
Keempat, tahap evaluasi. Buku ajar yang baik bukan hanya menyajikan materi, tetapi juga memberikan latihan, kuis, atau studi kasus. AI dapat membantu menyusun soal latihan dengan tingkat kesulitan bertingkat, bahkan bisa menghasilkan variasi soal agar mahasiswa tidak hanya menghafal jawaban. Lebih menarik lagi, AI bisa membantu merancang pertanyaan reflektif yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan sekadar menjawab benar atau salah.
Namun, perlu diingat bahwa integrasi AI dalam penyusunan buku ajar bukan tanpa tantangan. Salah satunya adalah masalah keaslian dan etika. Jangan sampai dosen hanya menyalin mentah-mentah hasil keluaran AI lalu menjadikannya isi buku tanpa penyaringan. Buku ajar tetap harus memiliki ciri khas penulis, kaya dengan pengalaman lokal, dan sesuai konteks pembelajaran. AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti kreativitas dan kepekaan manusia.
Selain itu, penulis juga harus cermat memeriksa kebenaran informasi yang dihasilkan AI. Ada kalanya AI menghasilkan penjelasan yang tampak meyakinkan tetapi kurang tepat. Oleh karena itu, verifikasi dengan literatur primer, jurnal terbaru, atau sumber akademik resmi tetap wajib dilakukan. Buku ajar yang baik harus bisa dipertanggungjawabkan isinya, bukan sekadar “tampak keren” karena didukung teknologi.
Meski ada tantangan, peluang yang ditawarkan AI sangat besar. Integrasi AI bisa membantu dosen menghasilkan buku ajar yang lebih cepat, lebih menarik, dan lebih relevan dengan kebutuhan mahasiswa. Dosen bisa mengalokasikan energi mereka untuk menambahkan pengalaman lapangan, kasus lokal, atau refleksi kritis yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Dengan begitu, buku ajar menjadi kombinasi antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan.
Pada akhirnya, integrasi AI dalam penyusunan buku ajar adalah soal kolaborasi. Dosen membawa pengalaman, intuisi, dan kedekatan dengan mahasiswa. AI menyumbang kecepatan, keteraturan, dan variasi konten. Ketika keduanya disatukan, hasilnya adalah buku ajar yang bukan hanya informatif, tetapi juga inspiratif dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi, jika Anda seorang dosen yang sedang menulis buku ajar, jangan ragu untuk mencoba bantuan AI. Mulailah dari hal kecil: biarkan AI membantu menyusun kerangka bab, membuat ilustrasi sederhana, atau menyiapkan latihan singkat. Seiring waktu, Anda akan menemukan cara paling tepat memadukan keahlian Anda dengan kemampuan teknologi. Ingat, tujuan akhirnya tetap sama: menciptakan buku ajar yang benar-benar membantu mahasiswa belajar lebih efektif, menyenangkan, dan relevan dengan kebutuhan masa kini.